Kamis, 28 November 2013

Bangladesh dengan teknologi seluler

Bangladesh adalah salah satu negara yang mampu membuktikan bahwa hadirnya teknologi seluler mampu menaikkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakatnya. Bangladesh sebelumnya merupakan salah satu negara yang paling sedikit sarana telekomunikasinya di dunia, di mana 97% dari rumah-rumah dan hampir semua pedesaan kekurangan telepon. Ketiadaan sarana telekomunikasi ini mendukung keterbelakangan dan pemiskinan penduduk Bangladesh.



Namun, berkat massalisasi telepon selular atau ponsel di berbagai daerah remote dan sentra-sentra kemiskinan melalui konsep phone lady terbukti memberi dampak yang siginifikan untuk menaikkan derajat dan taraf hidup masyarakat khususnya kaum perempuan di Bangladesh. Phone Lady adalah konsep sekaligus sebutan bagi para perempuan yang berfungsi sebagai wartel berjalan bagi penduduk sekitar yang membutuhkan alat komunikasi dengan beragam kebutuhan, melakukan pengecekan harga bahan baku sampai dengan mengontak sanak saudara yang tinggal jauh di seberang lautan.

Kesuksesan Bangladesh memanfaatkan teknologi seluler sebagai akselator peningkatan kualitas dan taraf hidup masyarakatnya khususnya kaum perempuan, tidak terlepas dari kiprah Muhammad Yunus dengan Grameen Banknya yang fenomenal dan telah direplika lebih dari seratus negara di dunia. Melalui anak perusahaan Grup Grameen yakni Grameen Phone, para perempuan di Bangladesh yang menjadi anggota Grameen Bank diberi kredit mikro untuk membeli ponsel yang kemudian disewakan kepada siapapun yang memerlukan terutama para pria-pria pedagang sebesar 2 dollar/menit untuk telpon keluar internasional; 0.1 dollar/menit untuk menerima telefon internasional dan masing-masing 1 dan 0.05 Dollar setiap menitnya untuk telefon keluar dan masuk domestik. Dengan itu, seorang phone lady di Bangladesh berpenghasilan 2000 dollar per tahunnya atau kurang lebih 4 kali lipat pendapatan per tahun masyarakat Bangladesh. Sementara dari perspektif kinerja perusahaan, GrameenPhone memiliki pendapatan sebesar I milyar Dollar dan keuntungan tahunan sebesar 200 juta Dollar. Kesuksesan Model Grameen Phone dengan konsep Phone Lady-nya ini kini telah direplikasi di banyak negara seperti Filipina, Uganda, termasuk Indonesia. Lalu bagaimana manfaat yang dipetik masyarakat Indonesia terkait booming telpon seluler akhir-akhir ini?

Pertumbuhan dan penetrasi seluler di Indonesia nampaknya masih belum banyak berimbas pada program pengentasan kemiskinan meski ponsel sudah membooming hingga ke lapisan masyarakat terbawah. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga Maret 2009, masih ada 32,53 juta jiwa penduduk atau sekitar 14,15 persen dari total penduduk Indonesia yang hidup dalam kemiskinan. Angka ini tidak mengalami perubahan berarti dari tahun-tahun sebelumnya. Padahal, sebuah studi yang dilakukan sebuah universitas di London menyebutkan bahwa pertumbuhan sebesar 10% dari jumlah telepon selular dapat mengurangi kemiskinan hampir 2 kali lipatnya.

Kehadiran teknologi seluler terlebih di tengah perang tarif antar operator seluler seyogyanya dapat mengakselerasi munculnya ekonomi alternatif dan optimalisasi tumbuh kembang Unit Usaha Kecil atau UKM sehingga dapat menyerap banyak tenaga kerja. Kenyataannya, ketika pertumbuhan seluler meroket, penurunan angka penggangguran di Indonesia seolah diam di tempat bahkan menunjukkan indikasi akan semakin bertambah akibat pengaruh dari krisis ekonomi global. Berdasarkan data BPS, jumlah pengangguran di Indonesia per Maret 2009 lalu mencapai 9,4 juta orang. Dan diperkirakan, setiap tahun muncul rata-rata 1 juta pengangguran baru.

Percepatan pembangunan daerah tertinggal juga tidak terkerek optimal. Menurut data Kementerian Negara Percepatan Daerah Tertinggal (PDT), secara kuantitatif ada 55 persen atau lebih dari setengah dari seluruh kabupaten yang ada di Indonesia masih tergolong daerah tertinggal. Secara makroekonomi baru 14,4 persen dari pendapatan daerah nasional dengan pertumbuhan 4,91 persen saja. Di tengah makin besarnya pangsa telepon seluler, Indonesia justru mengalami penurunan peringkat dalam indeks daya saing industri teknologi informasi (TI) sebagaimana yang diumumkan Economist Intelliegent Unit (EIU). Tahun ini Indonesia menempati rangking ke-59. Padahal tahun lalu kita menempati posisi 58. Sementara itu, pertumbuhan seluler yang pesat juga masih berkorelasi terbalik dengan iklim investasi di Indonesia yang masih payah. Menurut data International Finance Corporation (IFC) dan Bank Dunia, kelayakan investasi Indonesia berada di peringkat ke-122.

Kesenjangan yang tajam antara pertumbuhan seluler dengan berbagai indikator kesejahteraan masyarakat di atas menjadi catatan besar bagi kita semua. Bukan berarti kehadiran teknologi seluler tidak memberi manfaat sama sekali bagi kehidupan masyarakat. Hanya saja, pertumbuhannya yang sangat pesat seharusnya dapat memberi kontribusi yang lebih optimal brif seluler murah seperti sekarang. Dunia serasa dalam genggaman. Akses informasi tanpa batas, jaringan luas di seluruh penjuru dunia, beragam bisnispun bisa dikembangkan dengan mudah dan murah. Sebaliknya, bagi mereka yang tidak tahu, teknologi dan tarif seluler murah tak ubahnya seperti parasit yang mengambil sejumlah besar pendapatannya setiap bulan. Nilai tambah yang mereka dapat tidak seoptimal yang didapat oleh masyarakat kalangan atas. Di sinilah pentingnya edukasi berponsel bijak dan cerdas khususnya bagi masyarakat kelompok bawah agar semua bisa menuai berkah tarif seluler murah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar