Kamis, 28 November 2013

Efektifkah menyindir lewat jejaring sosial?

Salah satu tren kehidupan masyarakat modern saat ini adalah sangat dinamisnya interaksi di jejaring sosial, salah satunya melalui FB. Media ini tak jarang menjadi salah satu sarana yang sering dipilih banyak orang untuk menyampaikan kritik atau saran pada teman atau orang dekat. Beberapa berhasil mengenai sasaran dengan tepat, tapi tak jarang juga yang justru salah korban, haha. Sebagaimana diungkapkan oleh sejumlah teman anonim berikut ini.

“Statusku kan untuk nyindir si anu, kenapa dia yang kebakaran jenggot?” curhat seorang teman suatu kali. Salah sasaran ceritanya, sehingga jatuh korban tidak terduga :) Orang yang menjadi target utama bahkan gak merespon apa-apa, jangan-jangan bacapun tidak.

Teman lain menceritakan bahwa ‘umpan’ yang ia pasang dalam statusnya memang dimakan oleh si target tapi karena ia tidak to the point pada pokok masalah, si target bukannya menyadari kesalahannya, justru ia semakin besar kepala. Serba salah jadinya.

Bagaimana dengan saya sendiri?

Mungkin karena saya makhluk halus, terlalu berperasaan maksudnya :) , saya sangat sering menjadi korban salah sasaran. Tidak hanya membuat saya merasa tersindir, beberapa status bahkan sempat membuat saya menangis berjam-jam dan badmood berhari-hari. Duh sampai segitunya kah? Agak aneh memang, tapi begitulah adanya.

Status-status yang menyakitkan itu, kadang memancing saya untuk melakukan hal yang sama, membuat status sindiran serupa. Tapi dasar saya makhluk halus (baca: terlalu berperasaan alias sensitif), maunya menyindir dengan sehalus mungkin. Mikirnya aja bisa lama banget, bisa setengah jam hanya untuk memilah kata-kata yang tidak terlalu kentara. Ujung-ujungnya, sudah nulis hampir setengah halaman kwarto mungkin, saya lebih sering menghapusnya kembali. Tetap yakin menghapusnya meski Mr FB mencoba menggoyahkan keputusan saya dengan bertanya,

“Yakin nih gak mau membalas statusnya yang sudah bikin kamu mengeluarkan bermili-mili liter air mata?” haha. Pertanyaan ini yang saya maksud “Anda yakin akan meninggalkan halaman ini?”.

Mengapa saya lebih sering menghapus kembali status-status balasan yang sudah susah payah saya pikir dan ketik? Entahlah, saya hanya tidak kuasa mendengar kata hati saya sendiri yang mengatakan, diberi kritik saja rasanya sudah tidak enak, apalagi dikatakan secara terbuka melalui jejaring sosial yang bisa membuat malu yang bersangkutan.

“Jika berani, kamu to the point saja pada yang bersangkutan melalui pesan pribadi. Dan selesaikan masalah yang ingin kamu selesaikan dengannya berdua saja. Itu lebih menjaga kehormatan dan perasaan masing-masing” demikian kata hati saya berikutnya.

Hal lain yang juga saya takutkan saat menulis status sindiran adalah, saya khawatir status itu bisa menggores perasaan orang-orang yang sebenarnya tidak menjadi target utama. Padahal yang menjadi target bisa jadi meleset. Kalau ini yang terjadi, masalah yang sudah ada bukannya menemui solusi, justru menambah masalah dan bahkan dosa baru. Dalam hal ini, saya teringat nasihat seorang teman.

"Kata dan sikap yang menyakitkan itu seperti paku. Saat kita menancapkannya di pagar, kita mungkin bisa mencabutnya kembali, tapi bekasnya akan abadi. Salah kita mungkin telah dimaafkan oleh orang yang telah kita sakiti, namun mungkin ia tak bisa melupakan kesalahan kita dalam waktu yang lama bahkan mungkin seumur hidupnya". Aduh, mengerikan sekali membayangkannya.

Nasihat teman lain semakin membuat saya takut saja. Begini nasihatnya, "Untuk setiap kemarahan dan kesedihan yang dirasakan oleh teman atau saudaramu, karena perkataan atau sikapmu, maka itu akan mengurangi pahalamu". Aduh, sudah jumlah amal kebaikannya gak seberapa, kalau dikurangi terus bisa minus nih saldo tabungan akhirat :(

Rumitkah solusinya jika ada masalah yang harus disampaikan pada teman atau saudara? Tidak juga. Agama sudah memberi panduannya : katakanlah yang baik atau diamlah. Dan memaafkan itu adalah pilihan yang jauh lebih utama saat kita tersakiti. Kalaupun ada nasihat yang harus disampaikan, sampaikanlah dengan kata yang sebaik mungkin dengan tetap menjaga perasaan dan kehormatannya. Sampaikanlah secara pribadi jika nasihat itu memang benar-benar ditujukan untuknya.

Lalu, efektifkah menyindir lewat status jejaring sosial? Mari kita jawab di hati masing-masing :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar